Lhok Mata Ie (2) Frame yang Penuh Sampah

Timing yang tepat untuk para fotografer mengambil foto adalah pagi hari. Pukul enam sampai sepuluh pagi adalah waktu yang sangat disukai para fotografer untuk mengambil foto, karena pencahayaan pada waktu tersebut sangat bagus. Segera saya bangun pagi dan mengambil perlengkapan ”senjata” untuk berburu foto.

Zoom Out tenda kemping

Zoom Out tenda kemping

Menyalakan api unggun terlebih dahulu untuk menyeduh  mie instan dan minuman pagi adalah jalan alternatif agar perut tak keroncongan. Senior pernah berpesan, di pagi hari usahakan sarapan dulu sebelum memburu foto, agar tangan tidak gemetar hingga menimbulkan Shake saat memotret gambar.

Saya menyisir pantai mencari view menarik. Jejeran pulau seberang (Pulo Aceh) menambah komposisi gambar semakin menarik saja. Kapal motor dan speed boat terlihat sibuk di garis horison menjadikan  gambar semakin hidup ketika di rekam.

Dok. Ik

Menaiki tebing gunung penuh dengan batu besar, mencari angle yang cocok agar gambar tak terlihat monoton. Berpindah-pindah mencari sudut  bagus itulah yang saya lakukan setiap saat, karena gambar yang bagus itu tak akan datang dengan sendirinya jika kita tidak mau mencari posisi yang terbaik.

Merasa sudah cukup dengan foto lansekap,  bersama Puja Dias Chandra Octanto kami mengambil foto laga (action). Beberapa kali aksi berhasil dilakukan seperti gaya jungkir balik, jumping, tendangan di udara sampai berlari di bibir pantai. Menggunakan shutter speed tinggi untuk objek bergerak dalam tempo tinggi agar gambar terlihat membeku (freeze).

Puja Dias Chandra Octanto.

Puja Dias Chandra Octanto.

Dok. Ik

Dok. Ik

Dok. Ik

Beberapa jepretan berhasil saya abadikan di pagi itu, namun ada hal yang menurut saya mengganggu keindahan foto. Beberapa elemen tak penting ikut terekam hingga merusak frame. Sampah!

Sampah berserakan di pantai Lhok Mata Ie

Sampah berserakan di pantai Lhok Mata Ie

Sampah yang bertebaran di sana sini di pantai indah Lhok Mata Ie membuat keindahan alam ternodai. Sampah hasil ciptaan manusia ini telah mengotori lingkungan dan menganggu kelangsungan mahkluk hidup lainnya. Ironis memang, kala alam menyajikan keindahannya kepada kita justru ada saja tangan-tangan jahil yang merusaknya. Banyak coretan-coret di bebatuan yang tak ada manfaatnya sedikit pun, tentu saja merusak keindahan pesona alam paling ujung Sumatra ini.

Coretan di bebatuan yang tak ada manfaatnya hingga merusak keindahan alam.

Coretan di bebatuan yang tak ada manfaatnya hingga merusak keindahan alam.

Masih di lhok Mata Ie, saya juga meninjau beberapa lokasi bekas orang berkemping, sangat miris, sampah bertaburana beserakan mengotori hutan. Kerangka kemah  masih dibiarkan berdiri disana, menunggu lapuh ditelan masa. Bekas kaleng makanan dan botol minuman juga tak sulit di temui di pantai itu, sangat memprihatinkan hingga merusak daya tarik padahal keidahan alam di Lhok Mata Ie sangat memesona.

Coretan bebatuan  sebelah barat pantai Lhok Mata Ie

Coretan bebatuan sebelah barat pantai Lhok Mata Ie

Kasus sampah di diatas patut dapat perhatian, baik dari kalangan masyarakat setempat maupun pemerintah. Terlebih, saat ini Pemerintah Aceh lagi gencar-gencarnya mempromosikan pariwisatanya kedunia luar. Nah, jika tempat-tempat bagus seperti Lhok Mata Ie telah kotor dan tercemari saya yakin akan membuat pengunjung kecewa. Apalagi ada sekelompok orang melakukan kegiatan fotografi.

Dengan  fotografi kita bisa mempromosikan pariwisata kedunia luar dengan berbagai kontes dan pameran. Namun apa jadinya jika gambar yang kita rekam di pantai itu penuh dengan sampah. Kasus sampah di tempat wisata seperti ini tentu tak boleh di pandang sebelah mata. Pemerintah perlu mengeluarkan regulasi tentang kepada para wisata untuk tidak mencemari alam jika hendak bermalaman (kemping) dan sejenis aktivitas lainnya.

Di jagat raya fotografi mencatat, pernah terjadi sebuah kasus sampah yang menimpa Harry Fisch saat mengikuti kontes foto yang di adakan National Geographic dengan katagori tempat dan travelling. Setelah dinyatakan sebagai pemenang selama 72 jam, pihak redaksi mendiskualifikasi foto tersebut karena Harry dianggap melakukan kecurangan. Harry melalukan cloaning tool pada photoshop dengan menghilangkan elemen sampah yang ada dalam fotonya.  Tentu ini menjadi reputasi Harry tercemar, padahal sampah yang ikut terekam tersebut mungkin bukan bagian dari skenarionya.

Foto Harry Ficsh. Terdapat elemen sampah di sisi sebelah kanan foto

Foto Harry Fisch. Terdapat elemen sampah di sisi sebelah kanan foto.

Tampak elemen sampah di sudut kanan foto Harry Ficsh telah hilang (Cloaning) dengan Photoshop.

Tampak elemen sampah di sudut kanan foto Harry Fisch telah dihilangkan (Cloaning) dengan Photoshop.

Jujur, saya juga tak mau bernasib sama dengan apa yang dialami Harry Fisch di kemudian hari. Jika ada kontes foto dan kemudian saya menyertakan foto penuh sampah yang merusak daya tarik foto. Saya harus menyalahkan siapa. Kepada siapa saya harus meminta pertanggung jawaban tentang pencemaran tersebut jika hal itu di lakukan secara masal dan berjamaah. Sulit sekali ada hukum jika dilakukan oleh masa. Mungkinkah saya harus mengutip satu persatu setiap helai sampah untuk membersihkan frame? Saya rasa foto yang saya rekam seperti di setting dan di buat-buat dengan menutup realita. Namun bagaimana harus di kata jika fotografi adalah bicara keindahan kesenian. Dan, bagaimana foto yang kita hasilkan dikatakan indah dan mengandung seni jika dalam frame penuh dengan butiran sampah.

Dok. Ik

Terkadang kita harus banyak belajar bagaimana hidup yang sebenarnya berdampingan dengan alam (harmonisasi), mentransformasikan nilai-nilai hikmah yang alam sediakan, bukan malah justru merusaknya.Tamat!

(Muhammad Ikbal Fanika)

Tinggalkan komentar